Pada suatu hari, “Mbah Uti, congek itu apa sih?”
“Mbah Uti tidak tahu, An. Simpan pertanyaan itu, tanyakan pada tantemu nanti,” jawab perempuan berusa lima puluh enam tahun itu. Lintingan baju tangannya terbasahi oleh air cucian beras.
Laki-laki berusia empat belas tahun itu menyempitkan mulutnya. Ia kecewa. Jari tangannya menghitung jumlah jam penantian tantenya datang dari kerja. Tujuh jam. Iya, Aan harus menunggu kedatangan tantenya mulai pukul satu siang sampai delapan malam. Penantian yang sepertinya akan melelahkan baginya. Untuk menghindari kebosanan, ia tetap menjalankan aktivitas seperti biasa, tidur siang, makan siang, nonton TV, membantu Mbah Utinya menyapu rumah, belajar, beribadah, dan tentu saja tilawah. Mbah Utinya semakin bangga pada cucu laki-lakinya itu.
“Congek itu apa sih, Te?” tanpa mempersilahkan tantenya beristirahat, Aan langsung bertanya kepada perempuan yang baru saja duduk. Perempuan yang dipanggil tante menghentikan tangannya yang akan mencopot kaos kaki. Ia tersenyum. Ia mengulurkan tangan kanan pada Aan. Aan membalas senyum. Mereka saling berhadapan dan memegang tangan.
“Aan, dari mana dapat kata-kata itu?”
“Aan tadi dipanggil begitu sama teman. Aan ingin menanggapi tapi tidak tahu artinya.”
“Em, tapi Aan jangan marah ya?” tante Aan melanjutkan penjelasan setelah memastikan adik keponakannya tidak akan marah pada temannya. “Congek itu sinonim kopo’en, tuli, gangguan pendengaran.”
“Ooo…”
“Memang, Aan masih ingat sinonim itu apa?”
“Ingat dong, sinonim itu kata-kata yang memiliki kesamaan makna atau kemiripan makna.”
“Pinter,” komentar perempuan berkacamata itu. “Ciri-cirinya?” lanjutnya memancing.
“Em, ciri-cirinya, pertama, dua kata memiliki makna yang sama atau hampir sama. Yang kedua kata harus dapat saling ditukarkan dalam konteks kalimat yang sama.”
“Wah, pinter keponakan tante. Tidak salah kalau tante memanggil keponakan tante ini dengan sebutan Aan si pintar. Apa sekalian arti antonim?” lanjutnya tidak tekesan menguji ingatan Aan.
“Kalau antonim itu apa, Te?” lanjut Aan bertanya.
“Kalau antonim biasa disebut lawan kata atau kata-kata yang maknanya dianggap kebalikan atau berlawanan. Ciri-cirinya, kedua kata tidak dapat ditukarkan dalam kalimat yang sama, kemudian kedua kata memiliki makna yang berlawanan,” jelas perempuan itu dengan antusias.
“Contohnya, berdiri >< duduk, hidup >< mati. Begitu kan?” sahut Aan tanpa ditanya. Tante Aan tersenyum lebar. Ia bangga pada laki-laki kecil di sampingnya. Telah empat tahun Ibu Aan meninggal. Aan menjadi anak yatim. Ayahnya menikah lagi. Ibu tiri Aan tidak siap dengan kehadiran Aan. Keputusan akhir sebelum pernikahan Ayah dan ibu tiri Aan, Aan diasuh oleh Mbah Utinya.
Aan tergolong anak cerdas. Tidak butuh waktu panjang untuk mengulang pelajaran. Perempuan yang duduk di samping Aan hanya cukup menemani membaca setiap malam. Sesekali Aan bertanya, sesekali pula Aan mendapat pertanyaan.
“Aan, tante bangga pada Aan,” tante Aan mencium kening bocah berambut kriwul itu. Mata mereka berkaca-kaca. Mereka akan segera manghapusnya. Seolah air mata itu adalah sebuah rahasia. Rahasia yang sebenarnya telah diketahui oleh masing-masing pemilik air mata.
- Karya Nela Qurrota A’yun –